Your part time lover and a full time friend,
The monkey on the back is the latest trend,
Don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
Here is a church and here is a steeple,
We sure are cute for two ugly people,
Don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
We both have shiny happy fits of rage,
I want more fans, you want more stage,
Don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
I'm always tryin to keep it real,
Now I'm in love with how you feel,
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
I kiss you on the brain in the shadow of the train,
I kiss you all starry eyed,
My body swings from side to side,
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
The pebbles forgive me,
The trees forgive me,
So why can't,
You forgive me?
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
Do do do do do do dodo
Do do do do do do dodo
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you
JUNO
3.25.2009
2.16.2009
Mimpi vs Realita
Ada yang bilang orang yang paling kasihan adalah orang yang bermimpi saja tidak mampu. Benarkah? Apakah kita harus bermimpi?
Bermimpilah kalau anda akan mencapai bintang. Kalaupun tidak tercapai, minimal anda telah berada di bulan. Benarkah?
Kalau benar demikian, berada di manakah sebuah realita? Kita tinggalkan di bumi ketika kita mencoba mencapai bintang? Atau malah kita kubur dalam-dalam agar tidak mendistorsi mimpi indah kita?
Stagnasi sebuah mimpi indah akan mensubstitusi alam realita yang penuh fluktuatif suka duka, itu yang kita pilih? Atau memilih mimpi sebagai segelas air dingin yang membilas wajah dan membangunkan kalo kita hidup di alam realita?
Intinya, mimpi adalah sebuah sarana ideal di mana semua asumsi permodelan sebuah masalah yang kompleks di sederhanakan. Lebih kejam sebuah realita. Di mana asumsi dilecehkan dengan sebuah nilai yang mungkin tidak bisa diukur sehingga tidak bisa dikendalikan. Namun membiasakan membumi lebih indah dibandingkan hidup dalam mimpi tiada akhir.
Memang tidak gampang untuk sekedar mengumbar kata, saya hanya ingin membangunkan mereka yang bermimpi tanpa mengindahkan realita. Akibatnya mereka buta dengan sebuah prioritas dan sisi fundamental sebuah hidup. Tidak sekedar sebuah mimpi yang berubah menjadi ambisi. Ubahlah mimpi menjadi motivasi.
Bermimpilah kalau anda akan mencapai bintang. Kalaupun tidak tercapai, minimal anda telah berada di bulan. Benarkah?
Kalau benar demikian, berada di manakah sebuah realita? Kita tinggalkan di bumi ketika kita mencoba mencapai bintang? Atau malah kita kubur dalam-dalam agar tidak mendistorsi mimpi indah kita?
Stagnasi sebuah mimpi indah akan mensubstitusi alam realita yang penuh fluktuatif suka duka, itu yang kita pilih? Atau memilih mimpi sebagai segelas air dingin yang membilas wajah dan membangunkan kalo kita hidup di alam realita?
Intinya, mimpi adalah sebuah sarana ideal di mana semua asumsi permodelan sebuah masalah yang kompleks di sederhanakan. Lebih kejam sebuah realita. Di mana asumsi dilecehkan dengan sebuah nilai yang mungkin tidak bisa diukur sehingga tidak bisa dikendalikan. Namun membiasakan membumi lebih indah dibandingkan hidup dalam mimpi tiada akhir.
Memang tidak gampang untuk sekedar mengumbar kata, saya hanya ingin membangunkan mereka yang bermimpi tanpa mengindahkan realita. Akibatnya mereka buta dengan sebuah prioritas dan sisi fundamental sebuah hidup. Tidak sekedar sebuah mimpi yang berubah menjadi ambisi. Ubahlah mimpi menjadi motivasi.
12.22.2008
Hujan Hari Itu
Saya beranjak pergi meninggalkan tempat itu dengan badan yang sangat ringan. Bagai sehelai bulu. Tidak seperti ketika menginjakkan kaki ke tempat itu. Seperti berton-ton beban hinggap di pundak. Saya lega. Walaupun bisa dikatakan bahwa secara makroskopis saya tidak melakukan sebuah perubahan, namun berbeda dengan keadaan miroskopis. Saya seperti telah didonorkan sebuah udara segar ditempat saluran pipa yang pengap.
Hari itu hujan deras. Saya beranjak tanpa memperdulikan cuaca. Saya lega. Semua beban telah saya letakkan ditempat yang seharusnya. Walaupun beban itu hilang, namun saya tidak tahu pasti apakah mereka akan dijaga di sana. Saya terus berjalan di bawah desir hujan yang seperti kecepatan suara di temperature rendah terus mengguyur saya dari atas. Tas selempang, baju flannel, celana jeans saya bertambah berat. Massa benda-benda itu bertambah seiring banyaknya air yang hinggap di permukaan mereka.
Saya terus melangkah. Bibir saya entah mengapa terus tersungging senyum. Orang-orang melihat saya dengan wajah bingung sekaligus aneh. Mereka yang berpayung terus memandangi saya. Mereka yang berlarian dengan jas hujan melihat saya yang terus melangkah santai. Saya dengan tenangnya melewati semua. Entah berapa gram benda-benda yang hinggap dibadan saya bertambah massanya. Saya tidak peduli. Yang saya tuju saat ini hanya sebuah keteduhan tersirat yang tidak terlambang oleh tempat yang kering. Saya terus berjalan.
Hari itu hujan deras. Saya beranjak tanpa memperdulikan cuaca. Saya lega. Semua beban telah saya letakkan ditempat yang seharusnya. Walaupun beban itu hilang, namun saya tidak tahu pasti apakah mereka akan dijaga di sana. Saya terus berjalan di bawah desir hujan yang seperti kecepatan suara di temperature rendah terus mengguyur saya dari atas. Tas selempang, baju flannel, celana jeans saya bertambah berat. Massa benda-benda itu bertambah seiring banyaknya air yang hinggap di permukaan mereka.
Saya terus melangkah. Bibir saya entah mengapa terus tersungging senyum. Orang-orang melihat saya dengan wajah bingung sekaligus aneh. Mereka yang berpayung terus memandangi saya. Mereka yang berlarian dengan jas hujan melihat saya yang terus melangkah santai. Saya dengan tenangnya melewati semua. Entah berapa gram benda-benda yang hinggap dibadan saya bertambah massanya. Saya tidak peduli. Yang saya tuju saat ini hanya sebuah keteduhan tersirat yang tidak terlambang oleh tempat yang kering. Saya terus berjalan.
12.04.2008
Kecurangan Akademis
Hari itu masih seperti hari-hari lain. Hari-hari yang selalu diselingi oleh ujian di malam hari. Memang Mesin seperti sudah trademark kalau mengadakan ujian adalah di malam hari atau di hari Sabtu.
Saya duduk di deretan paling depan di 4101 bersama Hendro dan Lukman. Berdasarkan pengalaman, kalau duduk di depan biasanya tidak terlalu diperhatikan sehingga tukar menukar jawaban akan lebih mudah. Malam itu saya ujian Praktikum SSM. Soalnya bisa dikategorikan susah dan durasi yang diberikan selama ujian sangat lama, 3 jam! Soalnya susah terus 3 jam, saya sudah bingung mau mengisi lembar jawaban dengan tulisan apa. Saya isi seadanya saja.
Hendro menyodorkan kertas kosong ke saya. Ada enam soal yang ia ingin tanyakan jawabannya. Mengingat saya menjawab seadanya, tentu saja saya isi kertas kosong itu dengan jawaban-jawaban pendek seadanya walaupun tertulis jelas di lembar soal bahwa setiap jawaban harus DIJELASKAN!
Semuanya biasa saja, sedikit ribut karena semuanya saling menanyakan jawaban. Sudah saya bilang, soalnya SUSAH. Dua puluh menit sudah berlalu ketika Hendro menyodorkan kertas kosong itu kepada saya. Hendro berinisiatif menanyakan jawaban lagi ke Lukman, di kertas yang sama. Ia sodorkan kertas tadi. Sayang sekali, Lukman terlalu lama untuk merespon dan dengan sedikit kaget, kertas itu terlihat oleh pengawas dan diambil sebagai barang bukti. Namun anehnya kami bertiga hanya tenang2 saja.
Kami bertiga setelah ujian diproses di lab. Logam oleh asisten2. Mereka menyarankan agar kami mengulang lagi mata kuliah itu. Gila, cuma 1 sks terus praktikum pula. Banyak waktu yang termakan karena praktikum SSM tersebut. Jika benar2 mereka akan meng-nol kan nilai saya, kepalan tangan saya sudah siap untuk tertuju ke muka mereka satu2. Serius!
Ternyata jalan tengah yang kami ambil adalah mengaku ke Pak Adit selaku dosen mata kuliah tersebut kalau kami bertiga bekeja sama. Awalnya jantung kami dag-dig-dug karena takut beliau akan tidak meluluskan kami. Sudah banyak bahsa baku yang kami siapkan ketika akan berbicara dengan beliau.
Jam setengah sepuluh pagi kami bertemu beliau dan dengan bahasa baku tersebut kami mengaku. Ternyata, entah apakah beliau lagi good mood, beliau hanya maklum dan menasehati kami seadanya. Beliau tahu posisi kami. Beliau juga pernah mahasiswa. Kami hanya disuruh ujian ulang. Huh! Lega, tidak kebayang kalau harus mengulang lagi tahun depan!
Saya duduk di deretan paling depan di 4101 bersama Hendro dan Lukman. Berdasarkan pengalaman, kalau duduk di depan biasanya tidak terlalu diperhatikan sehingga tukar menukar jawaban akan lebih mudah. Malam itu saya ujian Praktikum SSM. Soalnya bisa dikategorikan susah dan durasi yang diberikan selama ujian sangat lama, 3 jam! Soalnya susah terus 3 jam, saya sudah bingung mau mengisi lembar jawaban dengan tulisan apa. Saya isi seadanya saja.
Hendro menyodorkan kertas kosong ke saya. Ada enam soal yang ia ingin tanyakan jawabannya. Mengingat saya menjawab seadanya, tentu saja saya isi kertas kosong itu dengan jawaban-jawaban pendek seadanya walaupun tertulis jelas di lembar soal bahwa setiap jawaban harus DIJELASKAN!
Semuanya biasa saja, sedikit ribut karena semuanya saling menanyakan jawaban. Sudah saya bilang, soalnya SUSAH. Dua puluh menit sudah berlalu ketika Hendro menyodorkan kertas kosong itu kepada saya. Hendro berinisiatif menanyakan jawaban lagi ke Lukman, di kertas yang sama. Ia sodorkan kertas tadi. Sayang sekali, Lukman terlalu lama untuk merespon dan dengan sedikit kaget, kertas itu terlihat oleh pengawas dan diambil sebagai barang bukti. Namun anehnya kami bertiga hanya tenang2 saja.
Kami bertiga setelah ujian diproses di lab. Logam oleh asisten2. Mereka menyarankan agar kami mengulang lagi mata kuliah itu. Gila, cuma 1 sks terus praktikum pula. Banyak waktu yang termakan karena praktikum SSM tersebut. Jika benar2 mereka akan meng-nol kan nilai saya, kepalan tangan saya sudah siap untuk tertuju ke muka mereka satu2. Serius!
Ternyata jalan tengah yang kami ambil adalah mengaku ke Pak Adit selaku dosen mata kuliah tersebut kalau kami bertiga bekeja sama. Awalnya jantung kami dag-dig-dug karena takut beliau akan tidak meluluskan kami. Sudah banyak bahsa baku yang kami siapkan ketika akan berbicara dengan beliau.
Jam setengah sepuluh pagi kami bertemu beliau dan dengan bahasa baku tersebut kami mengaku. Ternyata, entah apakah beliau lagi good mood, beliau hanya maklum dan menasehati kami seadanya. Beliau tahu posisi kami. Beliau juga pernah mahasiswa. Kami hanya disuruh ujian ulang. Huh! Lega, tidak kebayang kalau harus mengulang lagi tahun depan!
11.02.2008
bukan puisi
Tulisan ini bukan puisi
hanya intuisi berbalut ekspresi
ekspresi naif pujangga yang diambang batas rekayasa
ekspresi hidup yang berdeviasi emosi
tulisan ini bukan puisi
hanya dimensi yang menuntut toleransi
dimensi ruang sebuah kehampaan nyata
dimensi pendar harmoni waktu yang lirih
sekali lagi, tulisan ini bukan puisi
sekedar nadi yang seakan mati
mati akan fluktuasi emosi
mati akan dinamisasi siklus kompleks warna warni hidup
pusi hanya spektrum huruf
yang berkonduksi di antara secarik ide
sebuah gagasan spontan akan jemari alami
Namun tulisan ini bukan puisi
hanya intuisi berbalut ekspresi
ekspresi naif pujangga yang diambang batas rekayasa
ekspresi hidup yang berdeviasi emosi
tulisan ini bukan puisi
hanya dimensi yang menuntut toleransi
dimensi ruang sebuah kehampaan nyata
dimensi pendar harmoni waktu yang lirih
sekali lagi, tulisan ini bukan puisi
sekedar nadi yang seakan mati
mati akan fluktuasi emosi
mati akan dinamisasi siklus kompleks warna warni hidup
pusi hanya spektrum huruf
yang berkonduksi di antara secarik ide
sebuah gagasan spontan akan jemari alami
Namun tulisan ini bukan puisi
Langganan:
Postingan (Atom)