2.16.2009

Mimpi vs Realita

Ada yang bilang orang yang paling kasihan adalah orang yang bermimpi saja tidak mampu. Benarkah? Apakah kita harus bermimpi?

Bermimpilah kalau anda akan mencapai bintang. Kalaupun tidak tercapai, minimal anda telah berada di bulan. Benarkah?

Kalau benar demikian, berada di manakah sebuah realita? Kita tinggalkan di bumi ketika kita mencoba mencapai bintang? Atau malah kita kubur dalam-dalam agar tidak mendistorsi mimpi indah kita?

Stagnasi sebuah mimpi indah akan mensubstitusi alam realita yang penuh fluktuatif suka duka, itu yang kita pilih? Atau memilih mimpi sebagai segelas air dingin yang membilas wajah dan membangunkan kalo kita hidup di alam realita?

Intinya, mimpi adalah sebuah sarana ideal di mana semua asumsi permodelan sebuah masalah yang kompleks di sederhanakan. Lebih kejam sebuah realita. Di mana asumsi dilecehkan dengan sebuah nilai yang mungkin tidak bisa diukur sehingga tidak bisa dikendalikan. Namun membiasakan membumi lebih indah dibandingkan hidup dalam mimpi tiada akhir.

Memang tidak gampang untuk sekedar mengumbar kata, saya hanya ingin membangunkan mereka yang bermimpi tanpa mengindahkan realita. Akibatnya mereka buta dengan sebuah prioritas dan sisi fundamental sebuah hidup. Tidak sekedar sebuah mimpi yang berubah menjadi ambisi. Ubahlah mimpi menjadi motivasi.

0 shadows: