9.28.2008

kite runner

Kemaren saya baru saja menonton film Kite Runner. Film yang membuat saya penasaran dengan bagaimana sebuah rasa bersalah Amir, sebuah kewibawaan dan harga diri tinggi seorang Baba jan, kepolosan Hassan, kebijaksanaan Rahim jan, dan kelicikan seorang Assef. Semuanya terdeskripsikan langsung dalam sebuah film. Bagaimana saya tidak penasaran.

Namun apa yang saya dapat setelah menonton film hasil saduran novel karya Khaled Hosseini yang pernah mendapatkan New York Best Seller ini sangat jauh dari yang saya harapkan. Ketika membaca bukunya kita seperti menerawang. Seperti berada di samping Amir ketika ia merasa dunianya penuh dengan penyesalan, merasa ketakutan seperti Hassan, dan masih banyak lagi situasi yang bisa kita imajinasikan dengan membaca novel tersebut. Namun sangat jauh berbeda dengan filmnya. Bukan saya tidak menghargai hasil karya film sang sutradara. Namun filmnya terasa sangat hambar, ceritanya sangat terasa telah dipotong-potong dengan benang merah yang belum tersambung. Awalnya yang membuat saya sangat penasaran adalah seorang Baba yang dengan wibawanya, harga dirinya, sikapnya yang tegas, dan semuanya yang diceritakan penulis di novelnya. Kita bisa merasa takut hanya dengan membaca deskripsi seorang Baba di novelnya namun sangat berbeda dengan di filmnya. Baba kurang tereksplorasi perannya. Kepolosan dan kebaikan hati Hassan yang sangat terlukiskan di novelnya juga kurang terasa ketika menonton filmnya. Semuanya jauh dari yang saya harapkan. Saya sedikit kecewa.

*semuanya tergantung selera, saya berpendapat film Dark Knight sangat bagus dengan cacat durasi yang terlalu. Lebih bagus dibanding Iron Man. Namun teman-teman saya banyak yang mengatakan bahwa Dark Night tidak da apa apanya dibanding Iron Man. Yah, semuanya tergantung selera, walaupun standar film itu bagus atau tidak, tentu ada di tangan seorang yang expert di bidang ini, ya, saya hanya penikmat.

puasapraktikumtugas

Akhirnya saya bisa menulis blog lagi. Hampir sebulan kemaren, selama bulan puasa saya selalu disibukkan dengan praktikum dan tugas yang lumayan menyita waktu. Selama bulan puasa rutinitas saya jadi lebih monoton. Sebelum shubuh, sahur, jam tujuh sampai jam sebelas kuliah (biasanya, terus biasanya pula setiap kuliah menelurkan tugas yang cukup menumpuk), setelah kuliah, bertengger di perpustakaan mesin untuk membuat laporan praktikum (walau sebenarnya udah ada master) terus sampai kostan sudah jam setengah empat saja (yang ini juga biasanya). Karena rutinitas monoton yang lumayan bikin capek, selepas itu saya berbaring di kasur alias tidur sore. Tidak terasa udah buka puasa, cari makan terus bikin tugas lagi (biasanya juga), jadi seharian rutinitas saya hanya itu-itu saja.

Saya bukan mahasiswa yang menganut aliran Study Oriented alias SO. Tetapi sebulan kemaren keadaan yang menuntut saya untuk sedikit SO. Kemaren-kemaren, saya jarang atau sedikit sekali menonton film (kegiatan yang cukup saya gemari), baik di dvd, film ripped, apalagi bioskop. Padahal kalo keadaan santai dating, menonton film adalah kegiatan rutin saya yang cukup menghibur dan menghabiskan waktu. Gara-gara rutinitas monoton itu, ke himpunan saja saya bisa dihitung berapa kali walaupun saya juga tidak terlalu anak himpunan.

Yang penting sekarang saya sudah sampai ke tahap liburan di rumah, bersantai-santai sejenak dengan amunisi makanan yang tidak terbatas plus akses kendaraan yang selalu full tank. Tidak ada salahnya kan bersantai sebelum menyabut kehectic-an ujian ketika libur telah usai nanti.

9.21.2008

Kamu?

Aku Percaya Kamu
Melebihi Apa Yang Orang Katakan Kepadaku
Aku Percaya Kamu
Tak Perduli Apa Yang Orang Katakan Tentang Kamu

Yang Kutahu Kau Selalu Sejukkan Hatiku
Yang Kutahu Kau Selalu Ada Di Saatku
Membutuhkanmu Kau Selalu Ada
Disaatku Rapuh
Aku Percaya Kamu
Hidup Ini Takkan Berarti Tanpa Kau Disisiku
Aku Percaya Kamu
Kau Takkan Pernah Berhenti Tuk Selalu Mencintaiku

Yang Kutahu Kau Selalu Sejukkan Hatiku
Yang Kutahu Kau Selalu Ada Di Saatku
Membutuhkanmu Kau Selalu Ada
Disaatku Rapuh
Disaatku Jatuh

-d'Massiv Aku Percaya Kamu-

*contoh lagu yang menceritakan kalau dia lebih percaya kepada... siapa? His/her lover? atau bisa diartiin percaya kepada benda-seperti-obat-yang-bisa-bikin-high? peace...

9.16.2008

Renungan di Pagi HAri

Pernahkan anda merasakan bahwa terkadang harapan orang tua terhadap anaknya telah bermetamorfosis menjadi seperti sebuah paksaan tanpa mereka sadari? Harapan orang tua terhadap anaknya pastinya adalah harapan agar anaknya menjadi minimal lebih baik dari mereka sekarang. Namun walaupun mereka selalu bersikap netral dengan lebih menjunjung tinggi minat ketertarikan seorang anak, selalu terselip sebuah keinginan yang derajatnya lebih dari sebuah harapan. Si anak pasti mengetahui sebenarnya apa yang diinginkan oleh orang tuanya walaupun orang tua terkadang tidak pernah terang-terangan memberitahukan harapannya kepada si anak. Adakalanya si anak seperti memukul beban yang mereka harus asumsikan sebagai salah satu cara untuk membalas segala kebaikan orang tua. Namun terkadang si anak tidak pernah tahu bahwa jalan yang mereka tempuh tidak selalu benar. Jauh di lubuk hati orang tua selalu inginkan anaknya bahagia walaupun si anak tidak menjadi sedikit dari apa yang mereka inginkan. Namun sebagai anak kita terlalu sayang kepada mereka dan memang seharusnya begitu. Dan rasa sayang itu yang membuat kita sering salah mengartikan harapan mereka. Kita sebagai seorang anak yang memetamorfosis harapan mereka menjadi sebuah paksaan.

Saya pernah mengalaminya. Ketika saya dan kedua kakak saya akan menempuh jenjang perguruan tinggi, terlihat jelas dari mata ibu saya bahwa beliau menginginkan salah satu dari kami mengikuti jejaknya, menuruni kemampuannya sehingga dalam keluarga kami darah itu tidak hilang. Ya, ibu saya memiliki background medis, beliau adalah seorang apoteker. Dari mata beliau terpancar keinginkan salah satu anaknya berada di jalur medis seperti beliau. Kakak saya yang paling tua adalah seorang perempuan, namun jelas terlihat bahwa minat dan kemampuannya berada di luar medis. Ia sangat mahir dalam aritmatika dan logika. Namun sebagai seorang anak, kakak saya ingin sekali membahagiakan ibu saya. Namun apa daya, sebuah beasiswa untuk bersekolah di bidang teknik membuatnya bimbang. Ibu saya mendukungnya untuk mengambil beasiswa tersebut walaupun kami tahu itu akan mengubur impiannya kepada kakak saya untuk berada di jalur medis. Kakak saya yang kedua adalah harapan terakhirnya untuk mengikuti jejaknya di bidang medis mengingat sebagai anak laki-laki saya jauh terkesan dari memiliki keinginan menjadi dokter ataupun seorang apoteker. Kakak saya sadar dengan situasinya. Ia pun berjuang untuk mendapatkan pendidikan di bidang medis walaupun dalam hatinya ia ingin menjadi seorang ahli di bidang hukum. Dan tes masuk perguruan tinggi mengirimkan kakak saya yang kedua untuk menempuh waktu ke depannya untuk mengambil keahlian di bidang hukum. Begitu juga saya yang sekarang sedang menuntut ilmu di bidang teknik.

Senyum selalu terpancar di wajahnya apabila kami berada bersama membicarakan akademis. Beliau selalu memberikan dukungan dan doa untuk kami selama menempuh jalur kami masing-masing di bidang akademis. Ada sedikit rasa ganjal yang menyelimuti hati saya. Apakah ini hanya perasaan saya?

9.14.2008

Feed Back

Hari ini saya mendapat apa yang telah saya inginkan terhadap kelangsungan sebuah Unit Kebudayaan Melayu Riau. Seorang anggota yang ‘bertanya’, mengajukan pendapat, dan mengkritisi. Selama ini saya sebagai ketua divisi Pengembangan Sumber Daya Anggota (PSDA) hanya melihat (dan merasa) bahwa anggota UKMR yang sekarang khususnya yang bukan BP cenderung ‘hanya ikut’ terhadap kebijakan yang dikeluarkan BP tanpa mau mengkritisi. Mereka memang bertanya banyak, namun hanya sekedar bertanya tanpa mengkritisi. Saya yakin di balik forum atau dibalik suasana UKMR mereka ingin mengeluarkan uneg-uneg atau pendapat radikalnya, namun mereka mengurungkan. Entah mungkin karena kami -BP- lebih tua hingga membuat mereka segan atau malah takut, atau juga karena kami BP yang telah mengeksiskan UKMR yang notabenya adalah unit yang masih sangat muda, sehingga mereka merasa hanya kami yang tahu seluruh seluk beluk UKMR.

Sebenarnya setiap agenda kegiatan atau acara yang akan kami buat, telah kami coba untuk merunut semua rangkaian kegiatannya sesuai dengan runutan pembuatan sebuah rangkaian acara sebuah organisasi yang sehat. Kami telah melakukan analisis kondisi, analisis kebutuhan, membuat materi hingga parameter ketersampaiannya sampai ke teknik acara. Semuanya telah kami lakukan meski banyak kekurangan di sana-sini. Seperti ketika kami akan mencoba membuat sebuah rangkaian kaderisasi pertama UKMR. Kami telah merasakan bahwa UKMR sebagai sebuah organisasi (walaupun masih muda) telah membutuhkan sebuah rangkaian penerimaan kader-kader baru. Sangat terasa janggal oleh saya ketika menyusun materi dan meyusun materi apa saja disetiap pertemuan kaderisasi, tidak ada orang yang sok tahu, tidak ada orang yang berteriak tidak setuju, tidak ada orang yang menyalahkan dan tidak ada orang yang secara bijak menyelesaikan kesalahan yang diperbuat dalam menyusun materi. Berbeda dengan ketika saya berada dalam himpunan, banyak swasta-swasta yang menanggapi walaupun dengan cara mereka masing masing, bagaimana seharusnya rangkaian materi dan acara ke depan. Intinya saya membutuhkan pengkritisi.

Walaupun kebetulan teman-teman saya yang ada di BP UKMR adalah (bisa disebut) notabenenya anak himpunan, maka penyusunan alur kaderisiasi kami terbilang terencana dan lumayan rapi. Walaupun masih di atas kertas belum ke teknis acaranya namun saya cukup beruntung dengan keadaan di mana teman-teman saya adalah orang yang mengerti dengan arti sebuah kaderisasi dan telah membaurkan pengalaman mereka di penyusun alur kaderisasi pertama UKMR. Memang pasti ada selisih pendapat namun itu biasa dan saya rasa itu suatu keuntungan untuk mencari yang lebih baik.

Perasaan butuh seorang pengkritisi terus ada di hati saya. Namun baru ketika forum hari ini saya merasa seperti sebuah dahaga yang tersiram seteguk air, saya puas. Ada seorang anggota UKMR yang mempertanyakan acara Ganesha Jalan-Jalan (GJJ) yang juga telah kami sebagai BP telurkan untuk agenda UKMR ke depan. Dia mempertanyakan acara GJJ dengan bahasa seorang pengkritisi, walaupun masih terbungkus dengan rasa segan terhadap kami –BP-. Pembelaan demi pembelaan terus muncul, pertanyaan demi pertanyaan terus menyeruak, usul demi usul terus mengalir dan informasi-informasi baru terus berdatangan ketika sesi itu terjadi. Namun yang paling penting, sesi itu tertutup dengan adanya sebuah win-win-solution yang telah melegakan semua pihak. Sesi itu telah menyadarkan saya bahwa saya hanya berbuat sesautu yang kecil untuk unit ini dan masih banyak yang bisa saya lakukan untuk UKMR sebagai ketua PSDA.

9.11.2008

Her Shade of Blue

Kakinya melangkah dengan gontai. Tangan kirinya berayun lunglai. Tangan kanannya mendekap sebuah buku tebal, hampir dua kali lipat tebalnya buku Proses Manufakturnya Kalpakjian. Sebenarnya keseimbangannya telah terenggut dengan bertambahnya buku tebal itu. Namun fatamorgana yang telah ia ciptakan sedari melangkah pertama telah membungkam seluruh kejanggalan yang ia pikul. Satu demi satu langkah gontainya ia rajut. Entah berapa lama lagi ia dapat bertahan berjalan dengan langkah seperti itu. Sebenarnya ia sendiri pesimis dengan ketersampaian tujuan yang ia harapkan. Ia akan menuju sebuah oase tempat diagram-diagram berpegangan erat menjadi sebuah siklus yang lebih berwarna-warni ketimbang sebuah pelangi.

Peluh sudah membasahi hampir sekujur tubuhnya. Sebuah sweater hitam legam yang ia kenakan turut andil menambah peluhnya di samping teriknya matahari di atas langit. Ia terus berjalan.

Gerbang tempat diagram-diagram itu sudah kelihatan. Hiruk pikuk terdengar di sana. Semua suara berpadu mensinkronisasi sebuah bunyi baur yang tercampur aduk tepat di sekeliling diagram-diagram itu. Dalam beberapa langkah saja, ia telah melampau hiruk pikuknya gerbang itu. Perjalanannya belum berakhir. Ia harus menempuh hutan berisikan pepohonan putih nan tinggi. Pepohonan tersebut seperti sekutu tanpa konsolidasi yang melindunginya dari terik matahari. Sunyi sepinya hutan itu tak ubahnya sepi sebuah lorong yang terhembus angin semilir tanpa henti di malam hari. Hutan itu telah di depan mata.

Seperti yang telah ia bayangkan sebelumnya bahwa hutan itu teduh namun sepi sunyi. Tak ada hingar binger di sana. Angin terus membelai dan berlarian dengan sepinya hutan itu. Walaupun tanpa ia sadari hutan itu hanya beberapa langkah, namun sepi telah menabah berat langkah gontainya. Belum lagi beratnya buku tebal yang ia dekap. Semuanya seperti bersatu untuk mengurungkan ambisinya menuju oase itu. Walaupun oase yang ia bayangkan gersang, namun niatnya telah bulat untuk meraih fatamorgana itu. Tanpa berpikir panjang, tanpa memperdulikan pakaiannya yang telah kuyup oleh peluh, tanpa melihat kiri-kanan, ia maju terus.

Seperti sewindu rasanya melewati hutan itu. Konskuensi adanya luka-luka akibat sabetan ranting pohon putih tak bisa ia elakkan. Luka-luka itu telah menambah warna-warni tubuhnya yang telah lebam-lebam akibat kesunyian yang telah ia dera lebih dari jangka waktu melewati hanya sekedar hutan sepi. Dari ujung hutan itu, telah terlihat pijaran oase yang ia tuju. Pijarannya terang benderang, berbeda dengan bayangannya sedari pertama melangkah. Ia coba berlari dengan dekapan buku di dadanya. Seretan kai yang telah menimbulkan lecet di telapak kakinya, dianggap olehnya bahwa ia telah berlari. Berlari menuju pijaran itu.

Dalam sekejap, ambisi dan semangatnya telah membawanya menuju oase itu. Sekarang ia telah berada di sana. Ia rebahkan badannya ke sebuah batang kayu yang berkulit kelabu. Ia tertawa riang dalam rebahannya. Di letakkannya buku tebal itu tepat di samping kanan kepalanya yang telah basah oleh peluh. Ia ingin terlelap. Badannya bahkan telah mendahuluinya untuk terlelap. Namun hatinya bergejolak, hatinya berontak untuk tetap membangunkannya sampai cahaya teduh itu dating. Dari awal ia tidak pernah mempermasalahkan gersangnya oase dalam bayangannya itu. Dari awal ia datang ke oase memang bukan untuk meneguk sebutir air, bukan untuk menyerah untuk terlelap, namun ia menunggu datangnya cahaya teduh yang telah lama hilang dari kehidupannya. Buku tebal itu didekapnya untuk menemaninya menggu cahaya itu. Ia menegakkan kepala dari rebahnya dan mulai membuka buku tebal itu. Satu demi satu kata ia lahap sembari menunggu cahaya teduh itu. Entah sudah berapa alinea, berapa halaman, berapa bab ia lahap, cahaya itu tak kunjung datang. Suara khas sebuah kertas diayunkan untuk menuju halaman berikutnya telah membuyarkan konsentrasinya. Ia menoleh. Dari ujung jarak pandangannya ia melihat cahaya teduh itu mendekat. Cahaya teduh itu terus mendekat di antara gerlapnya pijaran oase itu. Ia terus menatap cahaya teduh itu, ia tak mau berpaling. Namun tiba-tiba ia bingung, apakah ia harus menyentuh cahaya teduh itu? Apakah ia harus mendekapnya? Atau ia harus berlari menyambutnya dan mengantarkannya kepada sebuah pelukan hangat seorang ksatria?

Pikirannya terus berputar. Cahaya teduh itu terus mendekat lebih cepat daripada yang ia bayangkan. Dalam beberapa hitungan cahaya itu telah berada hanya beberapa langkah darinya. Dengan sigap dan tanpa pikir panjang ia menyentuh cahaya itu. Cahaya itu bertambah teduh ketika ia menyentuhnya, tapi cahaya itu segan itu menyentuh kembali dirinya. Cahaya itu segan akan membakar. Cahaya itu segan akan melumat habis oase itu. Cahaya itu hanya berlalu dengan disertai keteduhan tanpa akhir. Namun keteduhan tanpa akhir itu cukup membuatnya puas dan bisa memejamkan mata untuk sekejap terlelap tenang.

9.10.2008

Lentera Hati

Pernahkan anda mendengar lagunya Nuggie yang berjudul Lentera hati? Di lagu Nuggie yang berjudul lentera hati tersebut menceritakan beberapa orang yang pernah hidup dengan tanpa memperdulikan lentera hatinya. Orang-orang yang dikisahkan di lagu itu lambat laun sadar bahwa kebahagian hidup terpancar dan termiliki ketika kita mengikuti apa kata hati kita, kata hati yang diibaratkan sebagi lentera oleh seorang Nuggie. Di video klipnya terlihat bebrapa orang yang memegang sperti papan white board kecil. Bagian depannya bertuliskan suatu kenyataan yang telah ia alami tanpa mengikuti kata hati dan bagian belakangnya adalah keinginan lentera hatinya yang menuntunnya sampai sekarang dan ia bahagia olehnya.

Saya sangat setuju dengan pendapat bahwa hidup akan bahagia apabila kita mengikuti apa kata hati kita. Segalanya akan terasa ringan dan segalanya akan berawal dengan niat yang tulus ikhlas apabila kita mengikuti apa kata hati kita. Karena semua yang ada di hidup kita, baik atau buruk, benar atau salah, pasti bisa kita pilah pilih sebagi insan yang dewasa. Namun mengikuti apa kata hati jauh berbeda dengan mengikuti hawa nafsu. Kata hati lebih kepada tutnan untuk meraih sebuah kebahagian hakiki dengan segala konsekuensinya. Menurut saya, mengikuti kata hati sperti misalnya kita ingin menjadi pelukis, maka dengan senang hati, tulus ikhlas kita akan menuangkan segala usaha, peluh, dan doa agar menjadi seorang pelukis. Kita dapat menerima konskuensi apabila kegagalan datang melanda atau bahkan kesuksesan tak kunjung datang. Namun semua yang telah kita lakukan telah membuat kita bahagia. Jauh berbeda dengan nafsu. Apabila kita telah memperturutkan nafsu menjadi pelukis misalnya, segala car harus dilakukan agar keinginan kita tercapai. Halal ataupun haram tak jadi soal. Kemungkinan stress akibat kegagalan sangat tinggi apabila memperturutkan hawa nafsu. Kita menolak konskuensi yang akan dihadapi dengan mencapai cita-cita.

Namun ada yang sedikit mengganjal ketika saya melihat sebuah scene di video klip Lentera Hati-nya Nuggie, yaitu ketika seorang perempuan yang berpakaian modis layaknya entertainer atau presenter membawa papan whiteboard dengan tulisan “Asli Lulusan Teknik Mesin”. Saya yang sedang berkuliah srata satu di bidang Teknik Mesin merasa sedikit aneh. Saya mengerti dalam scene tersebut mengisahkan bahwa sebenarnya perempuan tersebut BELUM mengikuti lentera hatinya ketika berkuliah di teknik mesin. Ia menjadi seorang entertainer ketika telah mengikuti kata hatinya dan merasa bahagia dengan keadaannya sekarang. Yang ingin saya bahas di sini adalah kecendrungan seorang perempuan untuk (sebenarnya) belum mengikuti kata hatinya apabila berkuliah di bidang yang terkenal dengan jurusan teknik yang hamper di isi oleh kaum Adam tersebut. Seperti aib apabila seorang perempuan untuk berkuliah di teknik mesin. Padahal katanya sekarang sudah emansipasi wanita di mana laki-laki sudah sejajar dengan perempuan (katanya). Namun ternyata emansipasi tersebut menurut saya hanya bahan diskusi tanpa implementasi. Karena memang sepantasnya kesejajaran tersebut tidak ada. Yang ada menurut saya adalah kesejajaran tersebut hanya menimbulkan kontroversi. Lebih bijak apabila hubungan laki-laaki dan perempuan adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan semuanya harus dibagi sama rata. Hubungan substitusi atau sama rata berbeda dengan hubungan komplemen atau saling mendukung. Lai-laki bukan apa-apa jika tidak ada perempuan dan begitu juga dengan sebaliknya. Suatu fakta mengatakan bahwa kesuksesan seorang laki-laki diraih dengan perempuan sebagi tangan kanannya.

Kembali ke masalah lentera hati dan tentang seorang perempuan pemegang whiteboard. Pengalaman saya, jika perempuan berada di lingkungan bidang laki-laki, peluang untuk menonjol sukses dan berprestasinya lebih besar. Kakak saya adalah sarjana teknik sipil ketika zaman teknik sipil masih pada zaman kelangkaan kaum hawa di jurusan Soekarno tersebut. Sekarang ia mudah untuk mendapat promosi jabatan atau tambahan pengalaman dikarenakan seorang perempuan. Di dunia profesinya ia cepat diorbitkan karena jarangnya perempuan di bidang sipil tepatnya konstruksi.

Sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah apabila kita belum mengikuti kata hati dan sulit untuk mengikuti kata hati, tak ada salahnya untuk mencoba memilih lentera hati yang lain. Jangan membuang nasi yang telah menjadi bubur, alangkah baiknya apabila bubur tersebut kita beri suiran ayam, cakue, dan kacang sehingga menjadi bubur ayam. Dengan kata lain, dengan syukuri apapun yang kita lakukan, apa yang kita dapat, karena dengan mensyukuri maka karama akan mempermudah hidup kita, sehingga lentera hati sebagai awal kebahagian akan terset ulang menjadi sebuah cahaya teduh abadi sebuah lilin yang menerangi kegelapan malam.

Revolusi

Mulai sekarang aku akan berubah. Awalnya aku pernah berpikir akan menjadi gue. Akan tetapi, gue lebih kepada bahasa sehari hari yang menurutku kurang tepat untuk mencapai sasaran utamaku ketika awal sekali membuat blog, suatu keterbiasaan menulis. Karena dari dulu aku ingin menulis namun masih malas untuk menuangkannya. Berpikir akan menjadi aku. Tiba-tiba pikiranku mengelak dengan merasa kalau aku yang sekarang sama dengan aku yang diharapkan seorang Chairil Anwar terhadap AKU. Beliau ingin dengan aku, ia merasa sangat angkuh, berbeda dengan saya yang terkesan halus dan formal. Namun setelah aku berpikir ulang di sela kesibukan laporan, tugas , dan TP praktikum, aku akan berubah, aku akan menjadi saya. Tak ada salahnya menulis formal, toh semuanya untuk kebaikan saya. Saya telah berevolusi. Saya kan melanjutkan semua tulisan yang telah aku torehkan. Saya kan hadir dan menjadi lanjutan hidupku.

YOU

you are a mistery
you almost missed in a mist
you love the rain and dislike the sun
but you keep the light and leave that falling water

you are more beautiful than the beauty
the beauty of relativity
the relativity of a fool
though you are still beautiful

I just can stand
warn myself to not keep more
cause the more I keep the more I lose
but it is just a matter of time

you are too special than others
others who only search for happiness
others who only try to find a world
but you have got them on your own

you only recognize your far side
you don't know if you talk to your love
right in front of you

9.09.2008

Lecutan Almamater

Masih seperti ancaman kalau jika sarjana nanti masih seperti ini. Ancaman sperti hanya akan selesai menuntut ilmu di Institut gajah hanya membawa ijazah tanpa kemampuan sebagai mana mestinya seorang sarjana. Bayangkan saja, sampai saat ini aku telah mengikuti beberapa mata kuliah yang telah lulus dengan nilai yang cukup memuaskan bagi seseorang yang tidak mengerti esensi kuliah yang telah diambil. Mekatron, aku beruntung telah lulus karena dengan keberuntunganku tersebut telah mengakibatkan ujian-ujian Mekatron mirip bahkan ada soal yang sama dengan pr-pr yang telah diberikan. Aku lulus cukup dengan menguasai pr-pr tersebut. Sekarang aku malu kalau ditanya mengenai mekatron, karena memang dari awalnya kau tidak terlalu mengerti dengan mata kuliah ini. Terkadang nilai yang aku dapat dari mata kuliah ini terasa yang pintar dari pada aku sendiri. Anum aka Analisis Numerik, aku hanya menyontek semua pr yang diberikan dan betapa beruntungnya aku ketika UAS, soal yang tertera di lembar pertanyaan UAS sama persis dengan beberapa halaman saja yang aku pelajari dari buku Chapra. Itupun aku membacanya H-4 UAS, H alias hour bukan hari. Dan beberapa mata kuliah lain yang aku rasa indeks nilainya lebih cerdas dari pada kepintaranku menangkap maksud dari mata kuliah itu.

Aku sadar aku akan terjun ke dunia keprofesian, aku sadar aku belum jadi apa-apa walupun sekrang aku telah tingkat tiga dan beberapa bulan ke depan aku akan Kerja Praktek. Apa aku harus menunggu lecutan almamater ketika terjun ke dunia keprofesian nanti? Apakah aku harus mulai bekerja keras ketika mereka meremehkanku yang merupakan tamatan sebuah institute teknik ternama di negeri ini? Seharusnya itu tidak perlu terjadi. Namun terkadang anggapan bahwa IP tinggi menjadi dosen, IP menengah menjadi pegawai dan IP rendah menjadi pengusaha menggoyahkanku. Sekarang aku termasuk dalam indeks kisaran sebuah pegawai. Seorang sarjana tidak membawa IP telah aku rasakan ketika tes untuk magang di salah satu Oil Service Company. IP hanya untuk formalitas agar lulus administrasi. Lebih bijak kalau mengadili seorang sarjana tamat dengan membawa ilmu yang dengan susah payah ia timba selama bangku perguruan tinggi. Namun hanya IP lah bukti otentik seorang mahasiswa mempertanggungjawabkan akademisnya di depan orang tuanya, di depan instansi yang membeasiswainya, dan di depan orang yang bertanya “Berapa IP lu?”.

Namun (hampir) semua mahasiswa tahu bahwa masih ada sebuah kompetensi yang harus dikuasai selama mengenyam bangku perkuliahan. Softkill. Kemampuan berkomunikasi dan berorganisasi merupakan salah satu syarat mutlak untuk stabil di dunia keprofesian kelak. Sepintar apapun seseorang apabila ia tidak bisa mengkomunikasikan kepintarannya maka semuanya akan terbuang sia-sia. Zaman sekarang adalah zaman membagi ilmu. Bukan zaman merebut ilmu. Hanya dari semua kompetensi tersebut aku masih bertanya-tanya apakah aku sudah berada dalam jalur seorang sarjana yang semestinya? Apakah aku hanya sadar tanpa punya andil untuk bergerak memperbaiki kekurangan yang ada untuk menjadi seorang sarjana? Apa aku harus menunggu untuk dipermalukan agar kemampuanku yang sebenarnya mekar?

Rata-rata sarjana Ganesha menjadi handal dengan rasa malu. Menjadi handal ketika almamternya dipertanyakan. Apakah aku termasuk golongan itu kelak? Bagaimana dengan kalian?

9.06.2008

Quasi Stellar

just a joke for one's prediction
you're actually the crowd of your own silence
even no love and no rain
it ain't a nightmare of being alone
you're always the beauty for your own mirror

the more you hope
what the rainbow decided
just the eye of thank

no need to turn black
no need to run off
no need to blame your heart
you only need a piece of pride

can you imagine the heaven?
it cried for you everytime
till you find yourself behind you yourself
cause everything is made so shinny as a star
even the shadows

seize what are on your hand
they'll help you someday
when the world will be being a parasite
for the ones who betray it
for the ones who leave it

you better denying the rain ringing
than just covering your ears from the song of the world
why did they always jump over the stars?
why did they have a lot unanswered question?
why didn't they just look at the stars?
and focus on the stars those entertain every night
without any unanswered question they brought

you, you live long like a stellar
a big star that share every happiness,
a big star that protect every sadness of a universe

9.05.2008

Bukan Rejeki

Semua berawal dari gak bisa ngerjain tes awal pas praktikum Matrek, padahal persiapan buat praktikum udah oke banget. Fotokopi Dieter walaupun cuma bab uji keras doank, trus nanya temen yang udah praktikum kalau praktikum uji keras gimana, udah nurunin rumus Brinell ma Vickers, udah baca berkali-kali bahan buat praktikum. Kenapa ya? Apa gugup karena udah setaun gak praktikum? Gak juga sih, soalnya, praktikum kan gak serem-tegang-mpe-berkeringet gitu kan kondisinya. Malah tadi praktikum dapet asisten yang baek lagi, gak bawel-resek gitu. Kenapa ya?
Tapi bukan karena gak bisa ngapa-ngapain pas praktikum yang jadi ‘sial-of-the-month’ kali ini. Pas lagi presentasi tes awal, hp aku getar-getar terus. Dengan rada sedikit kesel mengingat lagi praktikum, aku liat sipa yang nelpon. Ternyata no im3 yang g ada di phone book. Aku biarain. Eh, dya nelpon lagi, terus aku biarin lagi. Terus lagi, dan aku biarin lagi. Akhirnya dengan rasa penasara, aku sms tu orang yang nelpon-nelpon tadi. Ternyata si Vani –sorry, namanya emang nama cewe, tapi dya cowo-, dengan rada bingung aku hanya iya-iya aja kalo Vani nelpon.
Udah sejam lebih dengan presentasi tes awal dan ngamplas benda uji, langsunglah aku plus temen-temen satu kelompok ke alat uji. Pas lagi kebagian handle material uji baja karbon rendah dan pas lagi uji kekerasan brinell, ada yang nelpon lagi. Paling si Vani lagi. Aku diemin aja. Terus hp-ku getar lagi. Aku liat. Ternyata nomor g dikenal lagi, 022251xxx gitu. Ni siapa ya? Ya uadah males mikirinnya.
Stelah abis praktikum uji keras yang notabenenya praktikum paling lama dia natara praktikum yang lain, aku baru inget kalo kemaren aku ngedaftar buat jadi asisten MKM. Ternyata yang nomernya 022251xxx itu si dosen yang ngasi tau kalo aku harus dating briefing buat jadi asisten MKM hari itu juga, jam itu juga. Yanh mana aku tau kalo yang nelpon dia. Sambil jalan ke depan gedung Mesin, aku coba nelpon balik nomer itu. Eh aku ketemu Gustavo yang tampangnya lagi kesel-kesel gitu. Ternyata nasibnya sama ama aku. Rupanya gara-gara gak bisa ikutan briefing jadi asisten karena lagi praktikum, aku didepak jadi asisten dan diganti sama orang lain. Gimana gak kesel. Gak bisa ikutan briefingnya bukan karena alasan yang gak jelas, TAPI LAGI PRAKTIKUM! Parah banget!
‘maaf mas, mas emang sangat berpeluang menjadi asisten tetapi gak datang briefing 15 menit yang lalu. Baru aja mas digantiin….’
Wah parah banget, kesel ni. Udah ilang pengalaman jadi asisten, ilang kesempatan nulis di CV pernah jadi asisten terus ilang kesempatan buat dapetin uang jajan! Alasannya norak lagi. LAGI PRAKTIKUM! Emang gak rejeki…

9.01.2008

Pertama

Ini taun ketiga, aku menyambut bulan puasa Ramadhan di Bandung. Gak sperti sewaktu masih sekolah -maksudnya masi sekolah pake seragam, maklum sekarang juga masi sekolah cuma namanya aja yang diganti jadi “kuliah”-, biasanya kita libur saat menyambut bulan puasa dan menikmati tarawih pertama, sahur pertama, dan puasa pertama di rumah, di antara hangatnya sebuah keluarga. Di mana kita hanya tinggal dibangunin pas sahur dan tinggal duduk di meja makan ketika buka.

Namun awal Ramadhan sekarang aku punya sebuah pengalaman yang sangat berkesan. Saat itu hari pertama kita tarawih. Aku –sperti bulan Ramadhan sebelumnya- sholat isya plus tarawih di mesjid LIPI di daerah Sangkuriang, tetangganya Cisitu. Jemaahnya rame seperti biasanya tarawih pertama. Dari awal aku sudah memperhitungkan kalo kejadian “rame” ini, jadi aku datengnya agak awal dari yang laen. Kejadian berkesannya adalah ketika empat rakaat kedua -di mesjid LIPI ini teknis sholatnya empat rakaat empat rakaat dan witir tiga rakaat- sholat tarawih di mesjid yang pembicara ceramahnya biasanya orang yang gelarnya tinggi-tinggi ini. Ketika rakaat ketiga, ketika imam membaca aurat pendek, tiba-tiba suaranya berubah menjadi parau dan sedikit mengisak. Beliau menangis! Aku gak tau surat apa yang dibacanya, kayaknya beliau membaca potongan ayat, tapi yang membuatku merinding adalah momen ketika beliau menangis itu. Imam mengangis ketikamembaca surat-surat-NYA saat sholat berjamaah, baru sekali ini aku alami. Dari dulu, aku hanya mendengar cerita dari guru agama atau ustadz. Aku g menyangka aku bisa berada di peristiwa itu. Sangat berkesan. Mengingatkanku pada kekuasaan-Nya.

Hujan juga terus mengguyur sehabis sholat tarawih. Suaranya saat keras ketika memantul dan menabrak atap-atap. Namun anehnya, aku dan orang-orang yang selesai sholat dan dalam perjalanan pulang tidak seperti diguyur hujan deras. Padahal ketika aku melihat cahaya lampu mobil, aku melihat biasan hujan yang aku pikir saat itu cukup deras. Namun sekali lagi, aku memang basah, namun tidak sekuyub yang aku bayangkan dan sekuyub yang seharusnya hujan bisa tumpahkan airnya ke badanku dan orang-orang ke sekelilingku. Subhanallah.