10.22.2008

Become A Legend

Baru kali saya merasakan atmosfer tiga buah ujian dalam 1 x 24 jam! Sesak, bingung, malas, pasrah, semuanya bercampur aduk. Minggu kemaren saya telah merasakan bagaimana sebuah ujian yang mudah tiba-tiba menjadi sulit hanya dikarenakan ujian tersebut didahului oleh ujian lain yang tingkat kesulitannya bisa dibilang setingkat dewa. Hiperbolik, tapi memang benar. Yang sudah belajar keras pun belum tentu bisa mengerjakan ujian yang sadis dewa ini, ya saya sebut merk saja, Metrologi Industri. Bayangkan ujian Permes yang dilaksanakan setelah ujian mata kuliah milik Pak Tauro ini serasa sangat sulit. Semua yang sudah saya hapalkan, mengingat ada hapalannya, dan latihan soal yang saya kerjakan tiba-tiba seperti hilang tak berbekas. Ada bekasnya paling Cuma sidik jari yang hari saya harus perbesar ribuan kali. Bagaimana kalau tiga ujian ini? Perpan yang saudaranya termo, Elmes yang diuntit mekflu terus memanaskan suasana. Semuanya turut diperburuk oleh jadwal Liga Champion!

Namun ternyata bencana sebenarnya bukan tiga buah ujian dalam 24 jam, bukan jadwal Liga Champion, melainkan dirilisnya PES 2009! PES 2009 dirilis bersaman waktunya dengan kondisi mencekik di atas. Siapa pun maniak game sepakbola pasti penasaran dengan fiur-fitur baru yang ditampilkan dan disuguhkan PES 2009. Apalagi ada fitur baru yaitu Become A Legend. Semuanya membicarakannya, semuanya menggunjingkannya. Entah ketika kuliah Metro, kuliah Elmes, atau lagi di angkot sekali pun. Bagaimana bisa konsentrasi?

Tisu gulung?

Malam itu walau dihantui dengan ujian yang menunggu dan tugas yang men-deadline, saya (AI) dan ketiga (AM, FFR, dan RE) teman saya nekat untuk refleksi di reflexiologi di dekat Cihampelas. Di tengah perjalanan kami melihat RW berdiri di pinggir jalan, berkemeja rapi habis dari gereja dan membawa tisu gulung yang baru dibelinya,

RW : pada mau ke mana lo?
FFR : udah Con, masuk dulu
RW pun msuk ke dalam mobil, ikut pergi bersama kami
RW : mau kemana cuy?
Hening. Setelah berada di dekat persimpangan ciumbeluit, RW bertanya lagi,
RW : eh serius lah! Pada mau kemana ni?
RE : refleksi di Cihampelas
RW : AAAAAhhh, males gw, gw mau ngerjain tugas ini. Puter balik ah Cik…
FFR : ikutan dulu ah Con, tuh tisu buat apa?
RW : AAAAhhh…
Kami : hahahahahaha

Setelah sampai di tempat refleksi, ternyata FFR membatalkan niatnya untuk refleksi dan setia kawan untuk menemani RW di luar menunggu kami bertiga releksi satu jam-an. Setelah refleksi selesai, saya melihat RW sedang meneguk sekaleng susu merk DUTCH LADY yang dilarang karena mengadung melamin. FFR hanya tertawa kecil.
AI : Con, lu kok minum dutch lady si? Ada melamin nya dodol!
RW : Serius lu Ris? A****t. (sambil membuang kaleng dutch lady yang hamper kosong)
Kami : hahahahahahahaha

Setelah dari refleksi di Cihampelas, kami meluncur menuju sebelah matari untuk makan ayam tulang lunak. Semuanya memesan makanan selain RW yang katanya sudah makan setelah dari gereja. Lima belas menit cukup bagi kami untuk menyantap semua hidangan yang tersedia. Setelah mencelupkan tangan di kobokan kami semua mengelap tangan dengan tisu gulung yang ada di atas meja.
FFR : liat ni Con, gw jadi petinju (sambil mengulung-gulungkan tisu ke kedua tangan)
AM : minta tisunya donk Gy
RE : yang banyak Mi, biar bersih
RW : eh eh, kayaknya ada yang aneh deh, di meja yang laen kok gak ada tisu gulung sih? Eh Cik, ni tisu gw yak?
FFR : taw dah, gw ambil dari mobil, hahahahahaha
RW : ah t**k lu, mpe tipis gini tisu yang baru gw beli. Hati-hati aja ya, ntar tiba-tiba besok ada berita mutilasi. Gw potong-potong lu Cik!
Kami : hahahahahahaha

Setelah makan dan ‘tragedi pengelapan tangan ‘ selesai kami pun membayar makan yang kami makan tadi dan langsung meluncur pulang. Tugas sudah lama menunggu. Sesampai di depan pintu kost.
FFR : Con, buka pintunya,
RW : eh eh tisu gw tadi mana Cik? Liat gak lu Ris?
AI : wah kayaknya ketinggalan deh Con
RW : wah parah!!!!!!
Kami :hahahahahahahaha

10.17.2008

N.O.W

Saya…

Seperti seorang narapidana yang mencoba buron dari penjara ujian tengah semester yang menumpuk empat malam dalam tujuh malam yang hadir dalam seminggu. Menulis blog adalah salah satu keberhasilan kabur dari tebalnya jeruji-jeruji tumpukan kertas walaupun saya sadar bahwa saya pasti akan tertangkap kembali ke penjara itu. Atau mungkin malah saya yang dengan rela kembali ke penjara itu.

The Last Don, To Kill A Mocking Bird, Life of Pi, Kite Runner, Twilight, Wartawan Independen, dan Iblis Tak Pernah Mati. Novel tersebut sangat menggangu konsentrasi ketika akan mengambil text book layaknya Prosman ala Kalpakjian, atau Metrology Industri ala Taufiq Rochim atau hanya fotokopian slidenya Perawatan Mesin Pak Komang di rak buku yang terlihat lelah memikul monitor yag telah berubah fungsi menjadi televisi. Kayunya melendut. Bebas rasanya jika bisa menghabiskan hari dengan novel-novel itu.

Sedikit tertegun melihat sepatu Nike Classic dengan nike merah dasar putih. Membeli dengan harga yang tidak murah namun hanya terpajang di rak sepatu. Agak sempit! Padahal saya sangat suka dengan desainnya yang sederhana dan bergaya old school.

Bingung kenapa ketika liburan, titipan buku yang seharusnya berjudul Kamus Teknik Empat Bahasa malah tertinggal dan tertukar dengan buku Getaran-nya Rao. Mungkin karena sampul fotokopiannya sama-sama berwarna biru tua. Dengan bijaksana meminta orang rumah mengirimkan buku yang tertukar daripada menjadi mainan sobek-sobekan kertas ponakan-ponakan di rumah. Masalah intinya sebenarnya adalah karena buku tersebut dipakai buat ujian minggu depan.


Monitor rusak! Saya seperti hidup tanpa hiburan…

10.04.2008

Novel (imajinasi) vs Film (Technicolor)

film (dan novel) juga karya seni. Aku mengeluh cuma karena iri. Film membuat novel menjadi tidak relevan. Apa gunanya menulis kalimat indah tentang alam bebas, melukiskan dunia yang panas membara, matahari terbenam yang indah, berisan pegunungan yang berselimut salju, dan debur ombak samudera yang membuat orang terpesona? Apa yang bisa ditulis pengarang tentang cinta dan kecantikan wanita? Apa gunanya menuliskan semua itu kalau kau bisa melihatnya di layar lebar dalam Technicolor? Oh, wanita-wanita misterius dengan bibir merah penuh, mata mereka yang membius. Apa gunanya menuliskan itu, kalau kau bisa melihat mereka tampil tanpa penutup dada dengan pinggul menggoda? Kelihatannya malah lebih bagus daripada kenyataan sebenarnya, apalagi jika dibandingkan dengan penggambaran di buku. Dan bagaimana pengarang bisa menulis tentang kehebatan para pahlawan yang membantai musuh mereka hingga ratusan, mengatasi rintangan dan berbagai godaan, kalau semua pemandangan itubisa dimunculkan di depan matamu, wajah-wajah kesakitan dan tersiksa di layar lebar? Para actor dan kameraman melakukan segalanya tanpa memproses semua itu melalui otak. Satu-satunya yang tidak bisa dilakukan oleh film adalah menembus pikiran para tokohnya, film tidak bisa meniru proses berpikir, menampilkan kompleksitas kehidupan.” Ernest Vail, the Last Don karya Mario Puzo.

Baru saya sadari mengapa terkadang malah kebanyakan seorang pembaca novel yang novelnya tersebut kemudian difilmkan sering merasa kecewa. Merasa film tersebut ada yang kurang, tidak sesuai ekspektasi. Tidak ada luapan emosi yang diharapkan setiap pembaca dalam setiap scene-nya. Karena ketika membaca, imajinasi mengalir menembus batas nyata sebuah logika seorang pembaca. Imajinasi menempatkan pembaca tepat bersebelahan dengan tokoh, merasa emosi tokoh, terkadang malah merasa tokoh tersebut adalah diri si pembaca.

imajinasi lebih berharga daripada ilmu pasti” Albert Einstein,

Seorang yang membaca cerita dewasa lebih terangsang daripada mereka yang menonton film dewasa. Imajinasi bermain di sini. Imajinasi mengambil alih kesadaran akan dunia nyata. Imajinasi yang jadi tuntunan. Novel memang racun. Karena di setiap untai katanya bisa menerbangkan sang pembaca ke dunia yang berbeda, terbang dengan seorang pilot yang bernama imajinasi.

10.01.2008

Mohon Maaf Lahir Batin

Hujan deras terus mengguyur kota saya dibesarkan meskipun bukan kota saya dilahirkan, Pekanbaru. Hujan rintik-rintik dimulai sebelum saatnya berbuka dan terus meningkat gradient derasnya selama berlalunya waktu. Takbiran tahun ini dibarengi dengan derasnya hujan.

Ada sedikit kecemasan dengan hujan pada malam takbiran. Kecemasan akan tidak bisa shalat Id di lapangan besok karena takut hujannya masih awet atau lapangan basah karena hujan semalaman. Nuansa yang jauh sekali berbeda apabila sholat Id dilaksanakan di mesjid. Tidak ada tegur sapa ketika berjalan menuju lapangan apabila sholat Id di mesjid karena rumah saya tepat bersebelahan dengan mesjid. Keramain sangat terasa apabila sholat Id di lapangan.

Saya sendiri sebenarnya tidak memiliki agenda untuk takbiran on the road seperti yang dulu sering saya lakukan semasa kecil. Saya hanya keluar membeli coklat Van Houten dan sekilo margarine. Menemani sahabat saya yang disuruh ibunya membeli bahan pembuat kue tersebut.

Saya malah takbiran dengan duduk berjam-jam di depan notebook kakak saya yang dibeli dengan harga miring walaupun spesifikasinya terbilang wah. Harga miring karena kenal dengan orang langsung distributor resmi Toshiba katanya. Saya berjam-jam malah berchatting ria. Menanyakan pengalaman takbirannya siapa pun yang aktif ym-nya. Ternyata di Bandung hujan sempat jatuh dari langit walaupun Cuma sebentar. Di Lampung tak jauh beda dengan Pekanbaru yang diguyur hujan semenjak sebelum maghrib. Ada teman saya yang sangat terpesona dengan takbiran di Purwodadi, sangat meriah katanya. Padahal dia melihatnya di depan rumah. Saya jadi terbayang takbiran saat masih bocah. Dengan lantang saya dan teman-teman dekat rumah menyerukan takbir sampai keringatan dan terbatuk-batuk. Selain itu saya juga dapat kuliah Bahasa Jerman gratis pada malam takbiran tahun ini. vielen danke, Lehrerin!

Namun kecemasan saya ternyata tidak terwujud. Pagi lebaran kali ini tidak terlihat seperti hujan semalam yang mengguyur kota, terlihat hanya seperti embun pagi yang keluar lebih banyak dibanding biasanya. Cuaca agak lembab dan mendung tapi tidak hujan. Saya bergegas bersiap dan merasakan indahnya sholat Id di lapangan bersama khalayak tetangga lain. Nikmatnya.

Seperti biasa sesudah sholat, saya sungkem dengan ibu dan kakak saya. Dilanjutkan berkumpul di rumah adik ibu yang cukup menampung seluruh anggota keluarga besar kami. Ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul, sepupu-sepupu berkumpul. Semua dalam suasana fitrinya Lebaran.