10.04.2008

Novel (imajinasi) vs Film (Technicolor)

film (dan novel) juga karya seni. Aku mengeluh cuma karena iri. Film membuat novel menjadi tidak relevan. Apa gunanya menulis kalimat indah tentang alam bebas, melukiskan dunia yang panas membara, matahari terbenam yang indah, berisan pegunungan yang berselimut salju, dan debur ombak samudera yang membuat orang terpesona? Apa yang bisa ditulis pengarang tentang cinta dan kecantikan wanita? Apa gunanya menuliskan semua itu kalau kau bisa melihatnya di layar lebar dalam Technicolor? Oh, wanita-wanita misterius dengan bibir merah penuh, mata mereka yang membius. Apa gunanya menuliskan itu, kalau kau bisa melihat mereka tampil tanpa penutup dada dengan pinggul menggoda? Kelihatannya malah lebih bagus daripada kenyataan sebenarnya, apalagi jika dibandingkan dengan penggambaran di buku. Dan bagaimana pengarang bisa menulis tentang kehebatan para pahlawan yang membantai musuh mereka hingga ratusan, mengatasi rintangan dan berbagai godaan, kalau semua pemandangan itubisa dimunculkan di depan matamu, wajah-wajah kesakitan dan tersiksa di layar lebar? Para actor dan kameraman melakukan segalanya tanpa memproses semua itu melalui otak. Satu-satunya yang tidak bisa dilakukan oleh film adalah menembus pikiran para tokohnya, film tidak bisa meniru proses berpikir, menampilkan kompleksitas kehidupan.” Ernest Vail, the Last Don karya Mario Puzo.

Baru saya sadari mengapa terkadang malah kebanyakan seorang pembaca novel yang novelnya tersebut kemudian difilmkan sering merasa kecewa. Merasa film tersebut ada yang kurang, tidak sesuai ekspektasi. Tidak ada luapan emosi yang diharapkan setiap pembaca dalam setiap scene-nya. Karena ketika membaca, imajinasi mengalir menembus batas nyata sebuah logika seorang pembaca. Imajinasi menempatkan pembaca tepat bersebelahan dengan tokoh, merasa emosi tokoh, terkadang malah merasa tokoh tersebut adalah diri si pembaca.

imajinasi lebih berharga daripada ilmu pasti” Albert Einstein,

Seorang yang membaca cerita dewasa lebih terangsang daripada mereka yang menonton film dewasa. Imajinasi bermain di sini. Imajinasi mengambil alih kesadaran akan dunia nyata. Imajinasi yang jadi tuntunan. Novel memang racun. Karena di setiap untai katanya bisa menerbangkan sang pembaca ke dunia yang berbeda, terbang dengan seorang pilot yang bernama imajinasi.

0 shadows: