9.09.2008

Lecutan Almamater

Masih seperti ancaman kalau jika sarjana nanti masih seperti ini. Ancaman sperti hanya akan selesai menuntut ilmu di Institut gajah hanya membawa ijazah tanpa kemampuan sebagai mana mestinya seorang sarjana. Bayangkan saja, sampai saat ini aku telah mengikuti beberapa mata kuliah yang telah lulus dengan nilai yang cukup memuaskan bagi seseorang yang tidak mengerti esensi kuliah yang telah diambil. Mekatron, aku beruntung telah lulus karena dengan keberuntunganku tersebut telah mengakibatkan ujian-ujian Mekatron mirip bahkan ada soal yang sama dengan pr-pr yang telah diberikan. Aku lulus cukup dengan menguasai pr-pr tersebut. Sekarang aku malu kalau ditanya mengenai mekatron, karena memang dari awalnya kau tidak terlalu mengerti dengan mata kuliah ini. Terkadang nilai yang aku dapat dari mata kuliah ini terasa yang pintar dari pada aku sendiri. Anum aka Analisis Numerik, aku hanya menyontek semua pr yang diberikan dan betapa beruntungnya aku ketika UAS, soal yang tertera di lembar pertanyaan UAS sama persis dengan beberapa halaman saja yang aku pelajari dari buku Chapra. Itupun aku membacanya H-4 UAS, H alias hour bukan hari. Dan beberapa mata kuliah lain yang aku rasa indeks nilainya lebih cerdas dari pada kepintaranku menangkap maksud dari mata kuliah itu.

Aku sadar aku akan terjun ke dunia keprofesian, aku sadar aku belum jadi apa-apa walupun sekrang aku telah tingkat tiga dan beberapa bulan ke depan aku akan Kerja Praktek. Apa aku harus menunggu lecutan almamater ketika terjun ke dunia keprofesian nanti? Apakah aku harus mulai bekerja keras ketika mereka meremehkanku yang merupakan tamatan sebuah institute teknik ternama di negeri ini? Seharusnya itu tidak perlu terjadi. Namun terkadang anggapan bahwa IP tinggi menjadi dosen, IP menengah menjadi pegawai dan IP rendah menjadi pengusaha menggoyahkanku. Sekarang aku termasuk dalam indeks kisaran sebuah pegawai. Seorang sarjana tidak membawa IP telah aku rasakan ketika tes untuk magang di salah satu Oil Service Company. IP hanya untuk formalitas agar lulus administrasi. Lebih bijak kalau mengadili seorang sarjana tamat dengan membawa ilmu yang dengan susah payah ia timba selama bangku perguruan tinggi. Namun hanya IP lah bukti otentik seorang mahasiswa mempertanggungjawabkan akademisnya di depan orang tuanya, di depan instansi yang membeasiswainya, dan di depan orang yang bertanya “Berapa IP lu?”.

Namun (hampir) semua mahasiswa tahu bahwa masih ada sebuah kompetensi yang harus dikuasai selama mengenyam bangku perkuliahan. Softkill. Kemampuan berkomunikasi dan berorganisasi merupakan salah satu syarat mutlak untuk stabil di dunia keprofesian kelak. Sepintar apapun seseorang apabila ia tidak bisa mengkomunikasikan kepintarannya maka semuanya akan terbuang sia-sia. Zaman sekarang adalah zaman membagi ilmu. Bukan zaman merebut ilmu. Hanya dari semua kompetensi tersebut aku masih bertanya-tanya apakah aku sudah berada dalam jalur seorang sarjana yang semestinya? Apakah aku hanya sadar tanpa punya andil untuk bergerak memperbaiki kekurangan yang ada untuk menjadi seorang sarjana? Apa aku harus menunggu untuk dipermalukan agar kemampuanku yang sebenarnya mekar?

Rata-rata sarjana Ganesha menjadi handal dengan rasa malu. Menjadi handal ketika almamternya dipertanyakan. Apakah aku termasuk golongan itu kelak? Bagaimana dengan kalian?

0 shadows: