9.11.2008

Her Shade of Blue

Kakinya melangkah dengan gontai. Tangan kirinya berayun lunglai. Tangan kanannya mendekap sebuah buku tebal, hampir dua kali lipat tebalnya buku Proses Manufakturnya Kalpakjian. Sebenarnya keseimbangannya telah terenggut dengan bertambahnya buku tebal itu. Namun fatamorgana yang telah ia ciptakan sedari melangkah pertama telah membungkam seluruh kejanggalan yang ia pikul. Satu demi satu langkah gontainya ia rajut. Entah berapa lama lagi ia dapat bertahan berjalan dengan langkah seperti itu. Sebenarnya ia sendiri pesimis dengan ketersampaian tujuan yang ia harapkan. Ia akan menuju sebuah oase tempat diagram-diagram berpegangan erat menjadi sebuah siklus yang lebih berwarna-warni ketimbang sebuah pelangi.

Peluh sudah membasahi hampir sekujur tubuhnya. Sebuah sweater hitam legam yang ia kenakan turut andil menambah peluhnya di samping teriknya matahari di atas langit. Ia terus berjalan.

Gerbang tempat diagram-diagram itu sudah kelihatan. Hiruk pikuk terdengar di sana. Semua suara berpadu mensinkronisasi sebuah bunyi baur yang tercampur aduk tepat di sekeliling diagram-diagram itu. Dalam beberapa langkah saja, ia telah melampau hiruk pikuknya gerbang itu. Perjalanannya belum berakhir. Ia harus menempuh hutan berisikan pepohonan putih nan tinggi. Pepohonan tersebut seperti sekutu tanpa konsolidasi yang melindunginya dari terik matahari. Sunyi sepinya hutan itu tak ubahnya sepi sebuah lorong yang terhembus angin semilir tanpa henti di malam hari. Hutan itu telah di depan mata.

Seperti yang telah ia bayangkan sebelumnya bahwa hutan itu teduh namun sepi sunyi. Tak ada hingar binger di sana. Angin terus membelai dan berlarian dengan sepinya hutan itu. Walaupun tanpa ia sadari hutan itu hanya beberapa langkah, namun sepi telah menabah berat langkah gontainya. Belum lagi beratnya buku tebal yang ia dekap. Semuanya seperti bersatu untuk mengurungkan ambisinya menuju oase itu. Walaupun oase yang ia bayangkan gersang, namun niatnya telah bulat untuk meraih fatamorgana itu. Tanpa berpikir panjang, tanpa memperdulikan pakaiannya yang telah kuyup oleh peluh, tanpa melihat kiri-kanan, ia maju terus.

Seperti sewindu rasanya melewati hutan itu. Konskuensi adanya luka-luka akibat sabetan ranting pohon putih tak bisa ia elakkan. Luka-luka itu telah menambah warna-warni tubuhnya yang telah lebam-lebam akibat kesunyian yang telah ia dera lebih dari jangka waktu melewati hanya sekedar hutan sepi. Dari ujung hutan itu, telah terlihat pijaran oase yang ia tuju. Pijarannya terang benderang, berbeda dengan bayangannya sedari pertama melangkah. Ia coba berlari dengan dekapan buku di dadanya. Seretan kai yang telah menimbulkan lecet di telapak kakinya, dianggap olehnya bahwa ia telah berlari. Berlari menuju pijaran itu.

Dalam sekejap, ambisi dan semangatnya telah membawanya menuju oase itu. Sekarang ia telah berada di sana. Ia rebahkan badannya ke sebuah batang kayu yang berkulit kelabu. Ia tertawa riang dalam rebahannya. Di letakkannya buku tebal itu tepat di samping kanan kepalanya yang telah basah oleh peluh. Ia ingin terlelap. Badannya bahkan telah mendahuluinya untuk terlelap. Namun hatinya bergejolak, hatinya berontak untuk tetap membangunkannya sampai cahaya teduh itu dating. Dari awal ia tidak pernah mempermasalahkan gersangnya oase dalam bayangannya itu. Dari awal ia datang ke oase memang bukan untuk meneguk sebutir air, bukan untuk menyerah untuk terlelap, namun ia menunggu datangnya cahaya teduh yang telah lama hilang dari kehidupannya. Buku tebal itu didekapnya untuk menemaninya menggu cahaya itu. Ia menegakkan kepala dari rebahnya dan mulai membuka buku tebal itu. Satu demi satu kata ia lahap sembari menunggu cahaya teduh itu. Entah sudah berapa alinea, berapa halaman, berapa bab ia lahap, cahaya itu tak kunjung datang. Suara khas sebuah kertas diayunkan untuk menuju halaman berikutnya telah membuyarkan konsentrasinya. Ia menoleh. Dari ujung jarak pandangannya ia melihat cahaya teduh itu mendekat. Cahaya teduh itu terus mendekat di antara gerlapnya pijaran oase itu. Ia terus menatap cahaya teduh itu, ia tak mau berpaling. Namun tiba-tiba ia bingung, apakah ia harus menyentuh cahaya teduh itu? Apakah ia harus mendekapnya? Atau ia harus berlari menyambutnya dan mengantarkannya kepada sebuah pelukan hangat seorang ksatria?

Pikirannya terus berputar. Cahaya teduh itu terus mendekat lebih cepat daripada yang ia bayangkan. Dalam beberapa hitungan cahaya itu telah berada hanya beberapa langkah darinya. Dengan sigap dan tanpa pikir panjang ia menyentuh cahaya itu. Cahaya itu bertambah teduh ketika ia menyentuhnya, tapi cahaya itu segan itu menyentuh kembali dirinya. Cahaya itu segan akan membakar. Cahaya itu segan akan melumat habis oase itu. Cahaya itu hanya berlalu dengan disertai keteduhan tanpa akhir. Namun keteduhan tanpa akhir itu cukup membuatnya puas dan bisa memejamkan mata untuk sekejap terlelap tenang.

0 shadows: