9.16.2008

Renungan di Pagi HAri

Pernahkan anda merasakan bahwa terkadang harapan orang tua terhadap anaknya telah bermetamorfosis menjadi seperti sebuah paksaan tanpa mereka sadari? Harapan orang tua terhadap anaknya pastinya adalah harapan agar anaknya menjadi minimal lebih baik dari mereka sekarang. Namun walaupun mereka selalu bersikap netral dengan lebih menjunjung tinggi minat ketertarikan seorang anak, selalu terselip sebuah keinginan yang derajatnya lebih dari sebuah harapan. Si anak pasti mengetahui sebenarnya apa yang diinginkan oleh orang tuanya walaupun orang tua terkadang tidak pernah terang-terangan memberitahukan harapannya kepada si anak. Adakalanya si anak seperti memukul beban yang mereka harus asumsikan sebagai salah satu cara untuk membalas segala kebaikan orang tua. Namun terkadang si anak tidak pernah tahu bahwa jalan yang mereka tempuh tidak selalu benar. Jauh di lubuk hati orang tua selalu inginkan anaknya bahagia walaupun si anak tidak menjadi sedikit dari apa yang mereka inginkan. Namun sebagai anak kita terlalu sayang kepada mereka dan memang seharusnya begitu. Dan rasa sayang itu yang membuat kita sering salah mengartikan harapan mereka. Kita sebagai seorang anak yang memetamorfosis harapan mereka menjadi sebuah paksaan.

Saya pernah mengalaminya. Ketika saya dan kedua kakak saya akan menempuh jenjang perguruan tinggi, terlihat jelas dari mata ibu saya bahwa beliau menginginkan salah satu dari kami mengikuti jejaknya, menuruni kemampuannya sehingga dalam keluarga kami darah itu tidak hilang. Ya, ibu saya memiliki background medis, beliau adalah seorang apoteker. Dari mata beliau terpancar keinginkan salah satu anaknya berada di jalur medis seperti beliau. Kakak saya yang paling tua adalah seorang perempuan, namun jelas terlihat bahwa minat dan kemampuannya berada di luar medis. Ia sangat mahir dalam aritmatika dan logika. Namun sebagai seorang anak, kakak saya ingin sekali membahagiakan ibu saya. Namun apa daya, sebuah beasiswa untuk bersekolah di bidang teknik membuatnya bimbang. Ibu saya mendukungnya untuk mengambil beasiswa tersebut walaupun kami tahu itu akan mengubur impiannya kepada kakak saya untuk berada di jalur medis. Kakak saya yang kedua adalah harapan terakhirnya untuk mengikuti jejaknya di bidang medis mengingat sebagai anak laki-laki saya jauh terkesan dari memiliki keinginan menjadi dokter ataupun seorang apoteker. Kakak saya sadar dengan situasinya. Ia pun berjuang untuk mendapatkan pendidikan di bidang medis walaupun dalam hatinya ia ingin menjadi seorang ahli di bidang hukum. Dan tes masuk perguruan tinggi mengirimkan kakak saya yang kedua untuk menempuh waktu ke depannya untuk mengambil keahlian di bidang hukum. Begitu juga saya yang sekarang sedang menuntut ilmu di bidang teknik.

Senyum selalu terpancar di wajahnya apabila kami berada bersama membicarakan akademis. Beliau selalu memberikan dukungan dan doa untuk kami selama menempuh jalur kami masing-masing di bidang akademis. Ada sedikit rasa ganjal yang menyelimuti hati saya. Apakah ini hanya perasaan saya?

0 shadows: